Dian, Ketika semuanya berubah malam itu (Final) : perbudakan berlanjut

sambungan dari : Dianketika semuanya berubah malam itu


Sudah dua minggu berlalu sejak kejadian malam itu. Aku seorang istri dari pengusaha muda yang disegani jatuh ke dalam perbudakan oleh orang-orang yang status sosialnya jauh di bawahku. Menyuruhku melakukan apapun yang mereka inginkan terhadap tubuhku di rumahku sendiri.

Saat ini bahkan mereka tinggal dengan leluasa di rumahku. Pak Pono menjadi satpam, sedangkan Wanto dan Husni menjadi pembantu dan tukang kebun di rumahku. Tentu saja aku yang mengusulkannya pada suamiku dengan paksaan dari mereka. Awalnya suamiku kurang setuju saat pertama kali ku memperkenalkan mereka karena tampak tidak berpengalaman ataupun terlihat seperti pembantu, namun akhirnya aku dapat meyakinkan suamiku bahwa aku menemukan mereka dari agen pembantu yang terpercaya. Karena badan pak Pono yang besar maka iya pun diubah statusnya menjadi satpam oleh suamiku.

Mau tidak mau tiap hari aku harus berjumpa dengan mereka bila aku sedang di rumah. Mereka tidak berani macam-macam padaku di depan suamiku dan bertingkah bagaikan seorang pembantu dan satpam yang baik, namun bila suamiku lengah ataupun sedang kerja barulah aku dipermainkan seenak mereka dan bertindak seperti tuan rumah bukan seperti seorang satpam dan pembantu. Malah aku yang yang harus memasak dan bersih-bersih rumah yang seharusnya menjadi pekerjaan mereka. Para begundal itu semakin nikmat saja hidupnya, sudah tidak melakukan pekerjaan apapun di rumahku malah dapat gaji dan makan gratis pula.

Mereka juga seenaknya menghabiskan uang untuk hal yang aneh-aneh, seperti menyuruhku membeli berbagai mainan seks baik untuk perempuan ataupun laki-laki. Beberapa bahkan ada yang harus dipesan dari luar negeri dengan biaya yang tidak sedikit. Yang tentunya semuanya itu atas namaku dan berasal dari uang tabunganku sendiri.

Siang itu aku berencana untuk mandi karena cuaca yang sangat panas sekali. Aku menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarku. Aku terkejut menemukan si Wanto sedang tiduran di atas ranjangku tanpa minta izin.

“Pak.. apa-apan sih.. seenaknya tidur-tiduran di ranjang aku” kataku dengan wajah kesal padanya.

“hehe.. abisnya enak sih non, ini kamar yang paling bagus dan paling adem.. beda sama kamar bapak di belakang sono.. sumpek” katanya membela diri.

“ Lagian pak Gino kan lagi keluar kota seminggu ini non, jadi gak papa dong kalau bapak yang gantiin posisinya di ranjang ini.. khekhekhe..” katanya lagi seenak jidatnya.

Aku yang masih kesal berusaha tidak mempedulikannya dan segera masuk ke dalam kamar mandi. Segera ku lepas seluruh pakaian yang sedang ku kenakan dan menyalakan air untuk mengisi bathtub.

“Tok-tok-tok..” terdengar suara ketukan pada pintu di kamar mandi. Tentu saja aku tahu siapa orangnya yang tidak lain adalah si Wanto. Dengan langkah yang berat ku buka pintu kamar mandiku dan hanya ku keluarkan kepalaku saja, menyembunyikan tubuh telanjangku dari balik pintu agar dia tidak mupeng lagi melihat ketelanjanganku.

“Ada apa sih pak? Dian mau mandi.. jangan ganggu deh” kataku dengan wajah kesal.

“hehehe.. gak ganggu kok non.. Cuma mau pipis aja bentar.. boleh yah bapak masuk? Bentar aja kok.. hehe” pintanya mesum mencari-cari alasan.

“Pipis aja di celana!!” kataku jutek sambil berusaha menutup pintu, namun tangan si Wanto ini mencegahnya.

“Bentar aja kok non.. bapak janji gak ngapa-ngapain kok” katanya berusaha meyakinkanku dengan senyuman mesumnya.

“Ya udah.. coba aja kalau macam-macam!!” ku tutup sebentar pintu kamar mandi dan ku kenakan kembali handukku, lalu dengan berat hati ku buka pintu kamar mandi dan mempersilahkan orang ini masuk. Dia sempat terpelongo melihat tubuhku yang kelihatan seksi dengan hanya dibalut handuk putih begini, hanya menutupi sedikit di atas puting payudaraku hingga paha atasku. Walau sudah sering melihat ketelanjanganku namun matanya tetap saja tidak bisa lepas.

“Cepat aja pak.. jangan aneh-aneh deh..” kataku menyadarkannya dari lamunan joroknya.

“hehe.. iya non, tapi ininya buka aja non” katanya dengan tiba-tiba seenaknya menarik handukku sehingga tubuh telanjangku pun akhirnya terpampang dihadapannya, membuat aku menjerit kecil.

“Ahh.. pak, katanya mau kencing..” Dia hanya tertawa cengengesan sambil mengalungkan handukku itu ke lehernya dan menyeka keringatnya.

Aku makin kesal saja melihat tingkahnya. Dia akhirnya kencing juga namun sambil melirik-lirik ke tubuhku. Ku biarkan saja tubuh basah telanjangku ini menjadi santapan matanya sambil meneruskan mandiku.

“Udahkan pak? Keluar sana..” suruhku padanya.

“udah non, tapi belum di cebok nih.. cebokin dong..” pintanya kurang ajar padaku.

“Cebok sendiri dong pak.. nih.. “ kataku sambil memberikannya selang shower.

“Maunya sih dicebokin pake mulutnya non.. hehe, mau yah non.. udah tegang lagi nih.. cebokin dong sampai keluar lagi peju bapak.. hehe” pintanya sambil mengurut-ngurut penisnya yang tampak semakin tegang.

“Tadi kan janjinya gak macam-macam pak?”

“Hehe.. pejabat aja bisa melanggar janji agar gak korup, masa bapak gak boleh langgar janji dikit non.. hehe” katanya sok diplomatis.

Apa daya, dia pasti tidak akan mau mendengarku. Segera saja ku mengambil posisi bersimpuh di depan selangkangannya. Ku lihat ujung kepala penisnya masih terdapat cairan bening sisa kencingnya, membuatku makin jijik. Ku masukkan penis itu ke mulutku, segera rasa anyir dan asin dari sisa kencingnya terasa di lidahku. Aku, nyonya rumah di sini, harus menceboki penis kacungku yang habis buang air dengan mulutku. Ku coba sebisa mungkin untuk bertahan dari rasa tersebut dan tidak menarik penisnya dari mulutku, melentikkan tubuhku se-seksi mungkin sambil menghisap penisnya agar dia cepat keluar dan membuat ini segera berakhir.

“Enak gak non rasa pipis bapak?? khekhekhe” tanyanya mesum, ku balas saja dengan senyumku yang dibuat-buat dengan mulut yang masih penuh terganjal penisnya.

Setelah sekian lama mengocok penisnya di dalam mulutku, akhirnya dia tidak tahan dan melepaskan penisnya dari kulumanku, menyemprotkan banyak-banyak spermanya di rambutku.

“oughhh.. nih bapak kasih krimbat gratis..” katanya seraya menyemprotkan pejunya. Aku meraba-raba spermanya di atas rambutku ini sambil mengutuk dalam hati, terpaksa aku harus bersusah payah nanti membersihkan pejunya yang ada di rambutku ini.

“Udah pak? Puas? Sekarang keluar dulu.. Dian mau mandi..”

“Hmm.. gini aja deh non, biar bapak temanin mandi gimana?” usulnya padaku. Aku diam tidak menjawab, Wanto menganggap itu sebagai persetujuan sambil melepaskan pakaian yang masih menempel di tubuhnya. Terpaksa aku harus mandi namun ditemani pria dekil ini. Saling membersihkan badan satu sama lain, dan tentu saja tidak mungkin penisnya tidak tegang lagi.

“Pak.. itu..” kataku sambil menunjuk penisnya yang berdiri tegang menantangku, tidak sabar untuk kembali mengorek-ngorek isi vaginaku.

“Hehe.. tegang lagi yah non..” katanya. Sambil berseringai mesum dia maju ke arahku yang mana aku malah mundur hingga akhirnya mentok ke tembok. Aku pasrah dengan apa yang akan terjadi.

“Non.. enaknya posisi apa yah? Hehe” tanyanya gak penting padaku.

“Terserah!!” jawabku jutek. Diapun masuk ke dalam bathtub dan duduk di dalamnya.

“Sini non.. tunggangin kontol pacarmu ini.. hehe” suruhnya padaku. Apa? Pacar? Orang kaya gini ngaku-ngaku jadi pacarku? Sejuta kali lebih ganteng suamiku dari pada dia. Namun aku yang tidak punya pilihan mengikuti keinginannya, ikut masuk ke dalam bathtub dan duduk di atas pahanya dan memasukkan penisnya ke dalam vaginaku. Aku yang kemudian memegang kendali, dengan mengalungkan lenganku ke lehernya, ku goyangkan pinggulku sedangkan si Wanto Cuma mengerang-ngerang kenikmatan. Air dalam bathtub kelihatan beriak-riak karena goyanganku ini.

“Hehe.. gak salah si Pono nyebut non lonte.. nikmat benar goyangan non.. khekhekhe..” lecehnya yang hanya ku balas dengan senyumku. Aku ingin semua ini cepat berakhir, pria ini benar-benar sudah mengganggu acara mandiku, ku putuskan untuk menggodanya agar dia cepat keluar.

“Enak banget yah pak?? Hihihi..” kataku dengan suara mendesah menggoda.

“Ougghh.. enak banget non..” lenguhnya. Aku goyangkan pinggulku maju mundur, berputar-putar, memandang ke arahnya sambil memasang wajah nakal. Ku dekati wajahnya dan ku cium bibirnya, mengajaknya bermain lidah sambil aku sibuk menggoyangkan pinggulku. Kedua tangannya ku letakkan di masing-masing buah dadaku. Mencoba memberinya kenikmatan semaksimal mungkin.

Akhirnya setelah cukup lama aku menunggangi penisnya, dia pun tampak tidak tahan untuk segera menyemprotkan spermanya ke dalam vaginaku. Ku percepat goyanganku karena aku juga mau sampai.

“Crott.. croot..” Kami keluar berbarengan. Dia tumpahkan lagi yang untuk kesekian kalinya spermanya ke liang rahimku. Aku mengeringkan tubuhku setelah itu, termasuk tubuh si Wanto juga mesti aku yang keringkan.

“Bentar non, biar bapak yang milihkan baju untuk non.. hehe..” katanya padaku. Aku pun kemudian hanya berdiri telanjang sambil menunggunya memilihkan baju untukku. Dia obrak-abrik isi lemari pakaianku. Aku sempat kesal melihatnya yang seenaknya mengacak lemariku, namun ku biarkan saja. Dia akhirnya memilih pakaian untukku.

“Ini non..hehe” Dia memberiku sebuah kaos longgar putih dan sebuah celana dalam warna hitam. Dengan malas aku kenakan pakaian itu.

Setelah mandi aku cuma bersantai menikmati acara tv di ruang keluarga, hanya mengenakan celana dalam dan baju kaos longgar tanpa dalaman apa-apa lagi seperti yang diinginkan si Wanto saat memilhkan pakaian untuk ku kenakan saat selesai mandi tadi. Posisiku saat itu berbaring di sofa yang mana kepalaku beralasan bantal boneka.

“Non.. ada tamu nih non” tiba-tiba aku dikejutkan oleh kehadiran si Wanto.

“Tamu? Siapa pak?” tanyaku penasaran memandangnya tanpa mengubah posisi berbaringku. Melihatku dengan posisi itu sepertinya membuatnya mupeng lagi karena dia sempat terpelongo sesaat. Apalagi baju kaosku yang longgar ini tersingkap dan menampakkan perut putih rataku.

“Itu non.. “ katanya menunjuk ke arah ruang tamu.

“Gak usah ganti baju segala non, pake gituan aja.. hehe“ Aku yang penasaran akhirnya bangkit dari posisi tiduranku sambil mengambil ikat rambut di atas meja, mengikat rambutku kincir kuda, lalu berjalan menuju ruang tamu menemui orang yang dimaksud Wanto ini. Aku cukup terheran menemukan ada tiga bocah di sana, ada pak Pono mendampingi mereka.

“Non.. kenalin nih.. anak buah gue..” kata si Pono. Ku perhatikan keadaan mereka, pakaian mereka tampak berantakan dan kumal, kulit mereka juga hitam dekil dan berkesan berdebu tampak seperti anak jalanan yang putus sekolah, yang aku perkirakan mereka seumuran dengan anak-anak smp umumnya. Tentu saja mereka terpana melihat keadaanku, seorang ibu muda dengan pakaian menggoda berdiri di hadapan mereka.

“Mereka ini anak buah gue, yang nyetor ke gue tiap harinya dari hasil ngamen di lampu merah sama malakin anak orang” ujarnya menerangkan. Dua dari tiga orang bocah itupun bangkit dan bersalaman denganku yang ku ketahui bernama Wawan dan Riko, terpaksa aku terima salaman mereka sambil berusaha tersenyum.

“Wah.. si Non ini, cakep, seksi , tangannya mulus lagi..” kata Wawan mengomentariku, sepertinya tidak ada sifat polos padanya.

“Makasih dek.. gak usah panggil Non dek, panggil kakak atau mbak aja” kataku sambil tersenyum membalas komentarnya itu, yang aku tahu pasti dipikiran mereka sudah dipenuhi pikiran-pikiran jorok terhadapku.

“Nah.. tapi si brengsek satu ini gak nih.. “ katanya menunjuk ke bocah satunya. Tapi tunggu dulu, itu bukan bocah, itu pria dewasa namun berbadan cebol. Perawakannya mirip seperti pemeran tuyul-tuyul di sinetron-sinetron zaman dulu itu, tinggi badannya pun ternyata lebih pendek dari dua bocah yang tadi.

“Kenalan dong non sama abang ganteng ini.. gue Bontet, orang-orang biasanya manggil gue gitu.. hehe” kata si cebol ini memperkenalkan diri. Apa? Ganteng? Melihatnya saja aku jijik. Dengan tubuh cebol dan gempal, tingginya paling-paling cuma 100cm, dengan wajah sedikit berjerawat dengan rambut cepak. Aku mengira-ngira bahwa si Bontet ini umurnya sekitar tiga puluhan.

“Napa non? Jijik ya liat si Bontet.. gue juga.. wakakakak” kata Pono. Pria cebol ini juga ikut bersalaman denganku, tingginya hanya sebatas perutku.

“Nah.. sekarang nyonya yang cantik ini juga merupakan lonte kalian.. kalian bebas deh ngapain aja sama nih lonte” kata Pono pada orang-orang ini. Aku hanya memandang kesal pada pak Pono dengan ekor mataku sambil mengutuk dalam hati. Seenaknya mengobral gratis tubuhku pada orang-orang aneh seperti mereka.

“Sekarang lo harus matuhin mereka seperti lo patuh ke gue.. ngerti? Mereka juga bakal nginap di sini selama laki lo pergi..” kata Pono seenaknya. Sungguh keterlaluan si Pono ini, terpaksa aku harus menambah biaya lagi karena bertambah beberapa orang lagi di rumahku.

“Kak.. kita lapar nih..minta makan dong..” kata si Wawan ini padaku. Enak saja mereka datang-datang minta makan, aku sendiri belum makan.

“Ya udah.. kita makan bareng aja, kakak juga belum makan..” ajakku pada mereka sambil beranjak dari sana menuju dapur. Akupun menyiapkan makan untuk mereka, seperti seorang istri yang baik aku sendokkan nasi di atas piring mereka.

“Wah.. ayam goreng, udah lama gue gak makan ayam.. enak nih kelihatannya” kata Wawan kesenangan dan mulai makan dengan lahapnya. Mereka duduk di depan meja makan bersama-sama denganku, bahkan si Bontet duduk di tempat yang biasanya diduduki suamiku. Agak lucu melihatnya karena hanya kepalanya saja yang tampak di depan meja karena tubuh cebolnya ini. Ku alihkan pandanganku memperhatikan si Riko yang dari tadi tidak pernah bicara sedikitpun.

“Napa dek? Gak enak ayamnya?” tanyaku pada Riko, dia hanya menggelang-geleng saja.

“Hehe kak, si Riko ini bisu kak, dan dia juga agak gini” kata Wawan sambil menggesek-gesekkan telunjuknya di keningnya. Apa? Maksudnya bocah ini idiot? Gila, apa nanti aku juga harus dientot bocah keterbelakangan mental ini? Tubuhku menjadi merinding membayangkannya. Namun aku merasa cukup kasihan juga melihat keadaanya itu.

“Mau kakak suapin dek? “ kataku berinisiatif menawarkan diri untuk menyuapi si Riko ini. Dia hanya mengangguk angguk kayak orang terkena ayan. Akupun bangkit dan duduk di kursi di sebelahnya. Mengambil nasi dari piringnya dan menyuapinya langsung menggunakan tanganku. Merasa tanggung, akupun mengambil nasi dan ayam di piringku dan ku campurkan ke piringnya, jadilah kini nasiku dan nasinya tercampur. Sambil makan akupun menyuapinya, sesekali ada nasi yang bercecer di pipinya, ku colek nasi itu dan memasukkannya ke mulutku memakannya. Kelihatan sangat liar dan erotis sekali, seorang istri muda yang cantik sedang menyuapi bocah tanggung dekil yang idiot. Terlihat Wawan dan Bontet melongo melihat aksiku.

“Napa? Mau disuapin juga kalian?” kataku menggoda mereka.

“Eh.. eh.. boleh..” kata mereka sambil mendekat. Akupun kini menyuapi tiga makhluk itu bergantian hingga nasi mereka habis. Tanganku terpaksa bergantian terkena air liur mereka yang bau ini.

“Huaah.. kenyang.. si non ini emang pantas jadi bini kita.. hahaha” kata si Bontet ketika telah menghabiskan seluruh makanannya.

“Iya bang, emang mantap nih cewek..” ikut si Wawan.

“Ya udah kalau gitu.. kita sikat aja..” kata si Bontet bangkit dari tempat duduk dan menarikku ke sofa di ruang tv.

“Duh.. sakit… pelan-pelan dong kalau narik tangan cewek..” kataku kesal pada si Bontet ini.

“Eh.. mendingan kita ke kamarnya aja deh.. lebih asik kayanya.. hehe” usul Wawan. Mau tidak mau ku ikuti kemauan mereka dan berjalan membimbing mereka ke arah kamar. Kini di kamarku ini lagi-lagi dimasuki orang lain yang tidak jelas statusnya yang siap menikmati tubuhku. Kelihatan Bontet, Wawan dan Riko sudah mupeng berat. Mereka yang tidak sabaran langsung membuka pakaian mereka hingga bertelanjang di depanku. Apa aku akan dikerjai makhluk yang bertubuh kecil dariku seperti mereka? Rasanya menjijikkan sekali.

“Non.. buka bajunya dong..” pinta si Bontet.

“Iya nih kak.. udah gak sabar nih pengen ngewe lonte cantik kayak kakak, bini orang lagi..” sambung wawan kurang ajar.

“Apaan sih kamu wan.. gak sopan banget sama orang yang lebih tua..” kataku kesal padanya. Aku kemudian membuka pakain yang ku kenakan. Ku buka kaos longgar ku sehingga memperlihatkan buah dadaku dengan putting yang telah mencuat tegak di hadapan mereka, yang langsung membuat mereka heboh terpana.

“Woooohhh… gede, putih coooyy” kata Wawan mengomentari. Ku lihat mereka telah mulai mengocok penis mereka sendiri. Wajah Riko yang paling terlihat paling idiot karena memang sudah idiot dari sananya, dia melongo dengan mulut terbuka dan liurnya jatuh membentuk benang hingga menetes ke karpet lantai kamarku. Lucu melihat wajah mereka yang sange berat terhadap tubuhku ini yang kini tinggal menggunakan celana dalam saja. Aku merasa seksi diperhatikan pria-pria ini, membuat sifat binalku kembali bangkit.

“Napa kalian? Udah gak tahan? Baru juga lihat buah dada, belum yang lain” kataku sambil tertawa kecil pada mereka.

“Kak boleh pegang gak?” pinta si Wawan melihat ke payudaraku. Aku hanya menganggukkan kepalaku, segera saja mereka mengelilingiku berebutan meraba dan meremas buah dadaku. Terasa menggelikan di remas oleh tangan-tangan mungil mereka termasuk si cebol Bontet ini. Mulut mereka juga mulai menjilati dan mengulum buah dadaku bergantian, membuat permukaan kulit payudaraku menjadi basah oleh liur mereka. Si Riko yang idiot ini bahkan seperti berusaha menelan buah dadaku, bahkan putingku juga digigit-gigit olehnya, membuat aku merintih kesakitan namun nikmat. Yang lucunya si Bontet, karena tingginya hanya sebatas perutku maka dia tidak bisa menjilati buah dadaku.

“Hihihi.. gak sampai yah mas? mas Bontet juga mau ya?” kataku yang kemudian berlutut di depannya. Akhirnya dia juga dapat ikut menikmati menjilati payudaraku, memainkan lidahnya di sekitaran putingku sambil tangannya sibuk meremasnya. Dalam posisi berlutut seperti ini, penis si Bontet menjadi sejajar dengan vaginaku, sehingga penisnya sesekali menggesek-gesek permukaan vaginaku yang masih tertutup celana dalam.

“Hihi.. enak yah?” tanyaku pada pria cebol ini. Aku kemudian lebih merendahkan tubuhku sehingga wajahku kini sejajar dengan wajahnya. Yang tentu saja dia gunakan kesempatan itu untuk menciumku dan memainkan mulutnya di seluruh wajahku. Di belakangku si Wawan dan Riko meremas-remas pantatku dengan gemasnya. Wawan yang tidak tahan kemudian menyuruhku berdiri dan menarik tubuhku ke atas ranjang.

“Duh.. wan, pelan-pelan napa.. sakit tahu” kataku pada Wawan.

“udah gak tahan kak..” Dia kemudian langsung menindih tubuhku, mencumbuiku dengan ciuman-ciuman di sekujur dada, leher dan wajahku. Kadang aku tertawa geli karena aksinya ini. Riko dan Bontet kamudian ikut naik ke atas ranjang. Mereka kini mengelilingi tubuhku yang terlentang pasrah di ranjang. Dari sini, aku dapat melihat bingkai foto pernikahanku dengan Mas Gino. Sewaktu melihat mata foto suamiku ini aku merasa sangat bersalah dan malu sekali. “Maafkan aku mas”

Si bontet kemudian memposisikan penisnya di depan mulutku, aku yang mengerti maunya langsung memasukkan penisnya ke dalam mulutku. Di sebelahku si Riko kembali mengulum buah dadaku sambil penisnya aku kocok dengan tanganku. Sedangkan Wawan melebarkan kakiku dan memainkan jarinya yang kotor di dalam vaginaku, mengaduk-aduk vaginaku dengan tangannya berusaha menjelajahi setiap liang vaginaku.

Sungguh sensasi yang luar biasa di keroyok pria-pria bertubuh kecil seperti mereka. Yang satu anak jalanan calon preman pasar, yang satunya juga anak jalanan namun bego bin idiot, dan yang satunya lagi si pria dewasa yang cebol. Sungguh pemandangan yang aneh dan liar sekali.

Kini Wawan dan Riko tiduran menyamping di kiri dan kananku, mengenyot masing-masing buah dadaku sambil jari mereka secara bersamaan bermain di vaginaku yang membuat aku merintih kenikmatan. Di sebelah atas kepalaku, si Bontet membungkuk dan mencium mulutku, memainkan lidahnya di dalam mulutku.

“Non.. buka mulutnya non, yang lebar..” suruh si Bontet ini. Aku turuti kemauannya dengan membuka mulutku lebar-lebar. Dia kemudian dengan sengaja meludah ke dalam mulutku.

“Enak non? Hehe.. mau lagi?” tanpa menunggu jawabanku dia kemudian dengan kedua jarinya menahan mulutku agar tidak tertutup, kemudian meludah berkali-kali di mulutku. Aku yang tidak dapat berbuat banyak akhirnya menelan ludahnya yang bau itu, membuat si cebol ini tersenyum puas. Dia kemudian menampar-nampar penisnya ke wajahku sebelum kembali memasukkan penisnya ke mulutku. Kini aku harus melayani penisnya dengan mulutku sambil vaginaku dikorek-korek oleh dua kebocah ini. Sungguh sensasi yang luar biasa.

Tubuhku menggelinjang hebat karena permainan jari kedua bocah ini, tidak lama aku kemudian orgasme sehingga sprei dan jari mereka menjadi basah. Nafasku terengah-engah, namun tanpa memberiku kesempatan untuk beristirahat si Bontet kemudian langsung menancapkan penisnya ke vaginaku. Walau dia cebol, ternyata penisnya terasa cukup besar. Dia memintaku menungging dan menyodokku dari belakang. Ku lihat ke cermin besar di sebelahku, betapa liarnya keadaan ini, aku seorang istri muda yang tadinya sangat setia, kini sedang di entoti dari belakang oleh pria cebol tidak jelas asal-usulnya.

“Cepetan mas.. gue juga mau” pinta wawan tidak sabaran. Ku lihat si Riko juga ngeracau tidak jelas sambil menarik tangan Bontet seperti tidak mau kalah juga. Akhirnya mereka bergantian menyetubuhiku termasuk si Riko yang idiot ini. Sambil menyetubuhiku, air liur si Riko ini menetes-netes di pantatku. Mereka juga memasuki ke tiga lubangku secara bersamaan. Baik vagina, anus dan mulutku menjadi sasaran kenikmatan penis mereka. Mereka secara bergantian menikmati lubang-lubangku. Aku merasa sensasi gila yang nikmat disetubuhi beramai-ramai oleh orang-orang seperti mereka ini.

Akhirnya setelah cukup lama mereka bergantian membuang sperma mereka di dalam vaginaku. Sperma pria cebol dan kedua bocah ini kini berlomba-lomba untuk dapat menghamiliku. Aku tidak dapat membayangkan bila nantinya aku hamil oleh mereka.

“Puaskan?.. dasar kalian.. masih kecil juga.. “ kataku terengah sambil menatap bocah-bocah ini.

“Mas juga.. ” kataku menatap si Bontet cebol ini.

“Gue kan gak anak kecil non..” kata si Bontet membela diri. Mereka kemudian tertawa terbahak-bahak yang membuatku juga ikut tertawa.

“Kak.. jalan-jalan yuk pakai mobil..” pinta si Wawan.

“Capek nih.. kalian gak capek apa?” tanyaku menatap mereka.

“Lagian mau kemana sih? Iya deh.. tapi kakak mandi dulu yah..” kataku sambil menuju kamar mandi. Aku pikir tidak ada salahnya memberi mereka sedikit hiburan, akupun menyetujui permintaan mereka ini. Sebelum membuka pintu kamar mandi aku berpaling ke arah mereka lagi.

“Ada yang mau ikut mandi??” tanyaku menggoda. Tentu saja mereka bersorak sambil mengacungkan tangan ke atas. Dengan wajah menggoda ku ayunkan telunjukku seperti menantang mereka kemari. Langsung saja mereka menyerbuku dan menyeretku ke dalam kamar mandi, aku hanya tertawa sambil menjerit-jerit kecil. Pintu kamar mandipun tertutup, sekali lagi di dalam kamar mandi aku melayani mereka sambil kami membersihkan diri.

Setelah selesai mandi kamipun bersiap untuk mutar-mutar dengan mobilku. Aku putuskan untuk pergi ke mall terdekat saja. Namun dengan kurang ajarnya, mereka memintaku agar tidak mengenakan pakaian dan hanya mengenakan celana dalam, lalu menutupi tubuhku dengan jaket. Memang jaket ini cukup dalam menutupi hingga di atas lututku, tapi tetap saja risih karena aku tidak menggunakan apa-apa lagi dibaliknya. Di dalam mobil malah aku disuruh bertelanjang bulat sambil sibuk mengemudi, kadang tangan-tangan jahil mereka meraba-raba tubuhku baik payudara maupun vaginaku, membuat konsentrasi menyetirku jadi kacau.

Sebelum turun dari mobil, aku mengenakan kembali jaket itu. Namun mereka dengan nakalnya memasukkan sebuah vibrator berbentuk kapsul ke vaginaku yang dapat dikendalikan melalui remote. Tentu saja mereka yang memegang remote tersebut dan aku dilarang melepaskannya dari vaginaku.

Kami berkeliling di dalam mall tersebut dengan mereka yang asik sesekali memati-hidupkan vibrator di dalam vaginaku. Membuat harus menahan geli yang teramat sangat, aku juga bahkan harus berjalan sempoyongan karena benda itu bergerak hebat saat aku berjalan.

“Deek… stop pliss.. geli tau..” kataku menatap jengkel ke mereka sambil menahan geli bersandar di depan etalase toko yang sudah tutup, namun mereka hanya cengengesan saja. Ku rasakan vaginaku sangat amat basah bahkan cairannya sampai menetes-netes di lantai.

“Mau dimatikan kak?” tanya Wawan sambil cengengesan. Aku hanya mengangguk dengan pandangan sayu padanya.

“Tapi ada syaratnya.. non buka dulu dong jaketnya..” pinta si Bontet mesum padaku.

“Ha??? Jangan dong.. pliss.. malu kakak.. masa harus telanjang disini sih? Di mobil aja tadi kakak malu banget..” kataku mencoba menolak.
Memang di tempat kami berdiri ini merupakan lorong yang paling sepi di mall tersebut, tidak ada toko yang buka di sebelah sini. Tapi tetap saja, mana mungkin aku bertelanjang di tempat umum seperti ini.

“Ya udah kalau gak mau..” kata Wawan.

“zzzzzrrrrrrrtttttttt” vibrator tersebut bergetar dengan hebatnya, sepertinya di atur menjadi maksimal oleh mereka. Akupun kembali menggelinjang hingga berlutut di lantai menahan sensasi geli yang nikmat ini.

“Matiiiin dooong.. pliiisss..” kataku sedikit berteriak sambil mencoba merangkak menggapai remot itu dari tangan si Bontet. Dia permainkan aku dengan berjalan mundur saat aku hampir berhasil menggapai remot itu, kurang ajar sekali mereka. Akhirnya aku pasrah terduduk di lantai sambil menatap jengkel ke arah mereka.

“Iya.. kakak buka.. tapi matiin pliss..” kataku pasrah mengalah. Merekapun mematikan vibrator itu. Aku dengan berat hati dan dada berdebar sedikit demi sedikit menarik resleting jaketku hingga terbuka semua. Kini jaket tersebut hanya menggantung di tubuhku, buah dada dan celana dalamku yang basah terpampang dengan jelas sekarang.

“Gak ada orang kan?” tanyaku sambil melirik ke sekeliling, mereka hanya mengangguk-angguk saja tanpa benar-benar mengeceknya. Segera ku lepaskan jaketku dengan perlahan sambil tetap mengawasi sekeliling. Kini aku hanya mengenakan celana dalam saja yang masih menempel vibrator di baliknya.

“Sini kak jaketnya biar Wawan yang pegangin” ujarnya menawarkan. Dengan ragu aku berikan saja jaket itu padanya. Entah kenapa aku merasakan sensasi lain yang nikmat melakukan hal gila seperti ini, bertelanjang di tempat umum ini dan disaksikan para pria mesum ini.

“Lariiii…….” Sorak mereka tertawa-tawa membawa lari jaketku meninggalkanku yang hanya menggunakan celana dalam. Aku terkejut bukan main, dengan kurang ajarnya mereka meninggalkanku sendiri disini. Mereka kini berada di sisi mall sebelah sana yang ramai orangnya, tidak mungkin aku mengejar mereka kesana. Ku lihat mereka tertawa-tawa disana berhasil mempermainkanku. Aku hanya berdiri panik sambil menutupi puting payudaraku dengan tangan, serta mencoba memohon pada mereka untuk mengembalikan jaketku.

“Bzzzzzzzztttttt” tiba-tiba benda itu bergetar lagi dalam vaginaku.

“Aaaaaahhhhhh” aku kelepasan menjerit, untung saja tidak ada orang yang mendengarkan.

Aku merasa malu sekali, hanya menggunakan celana dalam dengan vibrator yang bergetar hebat di vaginaku. Entah apa kata orang jika menemukanku dalam keadaan seperti ini, terlebih jika orang itu suamiku. Aku hanya terduduk di lantai mengapitkan pahaku menahan geli ini sambil menempelkan kedua telapak tanganku memohon pada mereka dari jauh. Aku bahkan sampai terguling-guling di atas lantai, merintih menahan geli kenikmatan sambil menekukkan kakiku. Namun tidak ada respon dari mereka yang hanya tertawa-tawa saja disana. Sial, aku benar-benar dilecehkan dan dipermalukan.

Aku tidak tahan lagi, aku putuskan melepaskan celana dalamku dan menanggalkan benda itu dari dalam vaginaku. Celana dalam dan vaginaku benar-benar basah dibuatnya. Kini aku benar-benar telanjang di sini, dengan cairan vaginaku yang menetes-netes di lantai. Akhirnya aku merasa lega sekarang, tapi ini belum berakhir, aku masih bertelanjang disini. Tidak mungkin aku disini terus karena bisa saja ada orang yang lewat dan menemukanku seperti ini.

Iseng ku goda mereka menunjukkan vibrator yang sudah ku lepas ini sambil tertawa menang pada mereka. Tentu saja aku tidak benar-benar sudah menang, keadaanku masih telanjang seperti ini. Mereka yang tidak mau kalah akhirnya meletakkan jaketku begitu saja di lantai dan mereka mundur lebih jauh ke sebelah sana, memberi kode padaku supaya mengambil jaketku di sana.

Aku betul-betul tidak ada pilihan lain, karena tidak mungkin aku bertelanjang lebih lama lagi disini. Ku perhatikan keadaan sekitar sana, ku lihat tidak ada orang, dan wuzzz, secepat mungkin ku berlari telanjang meyambar jaketku disana dan segera kembali lagi ke lorong tadi menenteng jaketku. Sungguh memalukan, aku tidak tahu apa benar-benar tidak ada orang yang melihat. Segera saja ku pakai jaketku, namun tidak ku pakai lagi celana dalamku karena risih sudah basah kuyup seperti itu. Merekapun kembali sambil tertawa puas melihat kelakuanku yang berhasil mereka kerjai.

“Puas?? Dasar kalian..” kataku dengan wajah kesal pada mereka, walau tidak ku pungkiri ada perasaan geli juga bertelanjang-ria seperti tadi. Kamipun melanjutkan keliling mall lagi dengan vibrator yang kembali di masukkan dalam vaginaku. Saat melewati bagian penjualan pakaian dalam wanita mereka memintaku untuk membeli beberapa lingerie, baju tidur dan celana dalam yang seksi-seksi. Entah apa yang ada di pikiran mereka, tapi pastinya sesuatu yang jorok.

Ku lihat harga yang tertera di mesin kasir, empat juta lima ratus ribu. Gila, aku harus mengeluarkan uang sebanyak itu demi mereka.

“Mau tunai atau pakai kartu bu?” tanya wanita petugas kasir. Ku berikan kartu kreditku kepadanya, yang mana suamiku lah yang ujung-ujungnya membayar tagihan itu.

“Nnggghhh…” erangku tiba-tiba melenguh tertahan, yang tentunya membuat petugas kasir ini terheran. Bocah ini lagi-lagi menyalakan vibratornya.

“Ada apa buk??” tanyanya heran.

“ngghh.. ngak.. gak ada apa-apa” kataku pura-pura sambil menatap kesal ke arah bocah-bocah dan si cebol ini, mereka hanya cengengesan saja.

Setelah itu mereka mengajakku ikut masuk ke toilet pria, di salah satu kamar dalam toilet itu aku di suruh membuka jaket sehingga bertelanjang bulat di sana, lalu aku ditinggalkan begitu saja disana selama beberapa menit. Aku merasa sangat berdebar-debar dengan keadaan seperti ini, bertelanjang di salah satu ruangan di dalam toilet pria yang mana para pria silih berganti masuk ke sana. Berusaha tidak bersuara sama sekali walau ada yang menggedor pintu tempatku berada. Untung saja saat sudah sepi mereka masuk kembali dan membawaku keluar dari sana.

Kamipun pulang ke rumah setelah puas mengerjaiku di Mall, aku merasa lega sekali rangkaian perbuatan mereka yang mempermalukanku ini berahir sudah.

“Non.. nanti pakai yah baju tidurnya, yang paling seksi loh..” pinta si Bontet mesum padaku. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi nanti, mereka pasti bakal memuaskan nafsu mereka padaku dengan aku yang menggunakan lingerie ini.

Saat sampai di rumah mereka menyuruhku mandi dan mengenakan lingerie yang baru ku beli tadi. Aku pilih sebuah lingerie berwarna hitam, lengkap dengan stocking dan hiasan rambutnya. Ku perhatikan diriku di cermin, sungguh seksi sekali. Di depan suamiku aku bahkan tidak pernah berpakaian se-seksi dan senakal ini, kini aku malah memberi para pria-pria mesum itu sebuah pemandangan yang membangkitkan birahi mereka.

Aku turun ke bawah, mereka sudah lengkap disana. Pono, Wanto, Husni, Bontet, wawan dan Riko. Dengan siulan dan sorakan kata-kata kotor mereka mengeringi langkahku ke arah mereka.

“Woooh… gila, seksi banget nih lonte…”

“Iya.. lebih cocok jadi pecun daripada jadi istri suaminya itu.. khekhekhe..”

“Ayo kak Dian.. tunjukin ke binalan mu… kak Dian emang istri yang nakal.. kontol gue jadi tegang gini.. duuhh”

Berbagai sorakan dan kata-kata kotor terucap dari bibir mereka. Yang seluruhnya terdengar seperti melecehkanku yang hanya ku balas dengan senyuman manisku ke arah mereka.

“Hihi.. napa kalian? Suka ya liat Dian begini?” kataku menggoda mereka yang mulai mupeng itu.

“Iya non, suka banget.. udah gak sabar nih..” balas Wanto.

“ayo.. gak sabar ngapain?? Dasar kalian mesum” godaku lagi. Ku liuk-liukan tubuhku di depan mereka. Mencoba membangkitkan nafsu mereka pada diriku yang hanya menggunakan lingerie seksi ini. Di antara mereka yang tidak sabar ada yang membuka pakaian mereka dan mengocok penis mereka sendiri. Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka.

“Ting tong” tiba-tiba terdengar suara bel pintu rumah ku, ada tamu. Tentu saja mereka tampak kecewa karena acara baru saja dimulai. Salah satu dari mereka mengintip siapa yang tamu yang mengganggu kesenangan mereka tersebut.

“Non.. ada kiriman paket tuh di depan, lo yang terima deh..hehe” suruh Pono padaku. Aku agak ragu menerima permintaannya itu, soalnya aku hanya menggunakan lingerie seksi seperti ini.

“Udah sono.. cepetan, pakai gitu aja.. hehe” suruhnya lagi. Akupun dengan dada berdebar menuju ke arah depan dan membuka pintu. Ku buka pintu itu dengan lebar, menunjukkan pada kurir itu betapa seksi dan menggodanya penampilan ku ini. Tentu saja membuat kurir itu terkejut dan melongo.

“Mas?? Kok ngelamun?” kataku menyadarkan kurir itu dari lamunannya.

“Eh, a-anu.. Rumah bu Dian? Ini, ada paket” katanya salah tingkah melihat penampilanku.

“Iya mas, saya sendiri..”

“I-ini, tolong tanda tangan disini bu..” katanya menyerahkan paket dan slip untuk di tanda tangani.

“Siapa sayang?” tiba-tiba si Bontet cebol itu muncul dengan tubuh telanjangnya. Kemudian dia memelukku dari belakang sambil mengusap-ngusap pahaku. Tidak lama si Pono pun datang juga dengan tubuh telanjangnya dan ikut menciumi wajahku sambil meraba tubuhku yang sedang berusaha menanda tangani slip dari kurir ini.

Mereka dengan kurang ajarnya berbuat itu padaku, tidak peduli ada si tukang kurir yang melihat. Tentu saja melihat hal tersebut membuat kurir itu makin heran dengan apa yang terjadi. Seorang wanita muda cantik yang berpakaian menggoda sedang dijamah pria-pria kumal yang sudah telanjang. Entah apa yang ada di pikiran kurir antar ini sekarang. Segera setelah ku tanda tangani ku kembalikan slip itu padanya.

“Ini mas…” kataku menyerahkan slip tersebut.

“ma-makasih bu..” katanya terbata dan segera pamit dari sana.

“Bentar mas…” kata si Bontet memanggil si kurir itu. Sial, apa lagi mau si cebol ini. Aku memandang kesal pada si cebol ini sambil mencubit pelan bahunya.

“Iya.. mas, ada apa ya?” tanya si kurir heran kembali ke depan kami.

“Cuma mau nanya, gimana mas? Cantik gak cewek kita… hehehe” tanya si Bontet kurang ajar.

“C-cantik, mulus, putih..” kata kurir tersebut sambil memandangi tubuhku dari atas sampai bawah.

“Hehe.. bilang makasih dong Dian ke dia.. hehe..” pinta si Pono.

“hmm.. makasih ya mas..” kataku sambil tersenyum manis padanya yang pastinya membuat si kurir itu panas dingin dengan jantung berdebar. Setelah itu si kurirpun benar-benar pamit. Aku beruntung pria-pria mesum ini tidak berbuat aneh lagi. Segera ku tutup pintu depan.

“Paaaaaakkkkkkkk… apa-apan sih… malu tahu..” kataku dengan wajah kesal berusaha seperti mau meninju mereka. Mereka hanya tertawa-tawa saja sambil berusaha menghindari tinjuanku. Tadi itu benar-benar gila, mereka benar-benar membuatku malu setengah mati. Tapi entah kenapa diperlakukan seperti tadi juga membangkitkan gairahku, tanpa ku sadari ternyata vaginaku sudah basah. Apa aku terangsang diperlakukan begitu? Apa aku sebinal itu?

“Rese kalian..” kataku masih ngambek.

“Hehe.. sori deh non.. tapi non suka kan??” kata si Husni menggodaku, aku hanya membalas pandangan matanya saja, walau di dalam hati aku juga merasakan sensasi yang nikmat tadi.

“Hehe.. lanjut yu non, yang tadi belum selesai.. hehe.. wan, lo ambil handycam di kamar gue, trus ada kotak di bawah tempat tidur lo ambil juga..” suruh Pono pada wawan. Wawan segera beranjak mengambil handycam tersebut.

“Kalian mau ngerekam Dian lagi? Untuk apa sih?? ”tanyaku pada mereka.

“Gak untuk apa-apa sih non, siapa tahu berguna di kemudian hari..hehe” ujar Pono. Tidak lama si Wawan pun kembali dengan membawa handycam.

“Yukk mulai non.. Non main sendiri dulu, ambil tuh di dalam kotak..” suruh Pono lagi. Aku buka kotak yang dimaksudnya, ternyata isinya adalah mainan-mainan seks yang ku beli atas permintaan mereka. Dengan agak malas ku coba memilih-milih, aku pilih sebuah vibrator.

Dengan tersenyum ke kamera, mulai ku mainkan vibrator itu di sekitar vaginaku. Aku merasa malu direkam sedang bermasturbasi ini, namun ku coba untuk menghilangkan rasa itu dan menikmatinya.

“Kalian bantuin dong.. gak pengen mainin aku? Boneka seks kalian?” godaku ke mereka. Si Wanto segera maju dan mengambil vibrator itu. Kini dia yang memegang kendali benda tersebut dan memainkannya di permukaan vaginaku. Si Wawan dan cebol juga ikut mencari sesuatu yang lain dari kotak dan mengambil sejenis vibrator lainnya. Mereka mainkan di sekitar puting payudaraku. Aku kini membiarkan tubuhku di mainkan mereka, aku merintih kenikmatan atas getaran-getaran dari berbagai mainan seks itu. Sesekali aku memandang ke kamera yang terus merekam keadaan ini.

Mereka yang sudah menahan dari tadi kini langsung mengelilingiku, menjamah tubuhku yang masih terbungkus lingerie seksi ini.

“Non.. sekarang kocokin kontol kita-kita..hehe” mereka kini berdiri mengelilingiku yang sedang berjongkok di bawah mereka. Aku mulai mengocok penis mereka, kedua tanganku bergantian mengocok penis mereka berenam. Aku juga mulai menjilati dan mengulum penis mereka, sambil tetap mengocok penis yang lain dengan tanganku, ku keluarkan semua keahlian oral seksku pada penis yang sedang ku jilati.

“Eh non.. kalau gak salah besok non ulang tahun kan? Sempat dengar kemarin waktu non ngobrol sama pak Gino..” tanya Wanto.

“hmm.. iya, napa emang?”

“Gak ada.. Cuma sayang banget yah non, bukannya ngerayain bareng suami, tapi malah dengan kita-kita..hehe..” ku balas saja dengan senyumku. Ya, biasanya tiap ulang tahun mas Gino selalu yang pertama yang mengucapkannya. Entah jam dua belas teng nanti dia bakal menelpon ku atau tidak untuk mengucapkan selamat. Tapi yang pasti, malam ulang tahunku kini bakal ditemani pria-pria tidak jelas ini.

Akhirnya sore itu aku kembali digarap beramai-ramai, mereka menyetubuhiku dengan aku masih menggunakan lingerie ini. Lebih seksi dan menggoda kata mereka. Saat mereka ingin keluar, mereka tumpahkan sperma mereka ke lingerie mahalku ini.

“Pak… duh, mahal ini…” kataku dengan nada kesal pada mereka. Enak saja mereka tumpahkan peju mereka di sana. Padahal baru saja ku beli mahal-mahal.

Setelah itu, mereka menyuruhku menggunakan lingerie yang lain. Kali ini berwarna pink, sangat serasi dengan kulitku yang putih. Mereka lakukan hal yang sama seperti sebelumnya, mereka setubuhi aku dengan pakaian tersebut dan mengakhirinya dengan menumpahkan sperma mereka lagi di sana.

Mereka juga melakukan hal-hal mesum lainnya dengan pakaian yang ku kenakan ini, seperti menyelipkan penis mereka ke dalam stocking, sehingga penis mereka menggesek-gesek antara paha dan kain tipis stocking itu sampai mereka menumpahkan sperma mereka di sana. Ada juga mereka meminta dijepitkan penis mereka di antara buah dadaku dan menumpahkannya di sana. Bahkan menggunakan kakiku yang terbungkus stocking untuk melakukan footjob pada mereka. Setiap bagian lingerie ku menjadi basah berlumuran sperma mereka. Tidak hanya satu, bahkan seluruh lingerie dan gaun tidur yang baru ku beli tadi menjadi tempat tumpahan sperma mereka.

Jam hampir menunjukkan pukul dua belas malam, cukup banyak juga waktu yang telah berlalu. Handphone ku berdering, tidak salah lagi itu dari suamiku. Sambil masih mengocok penis mereka aku angkat telepon itu.

“Halo..” kataku menyapa.

“Halo sayang.. udah bobo? Belum kan?”

“belum, kan nungguin mas bilang happy birthday.. hihi” kataku sambil masih mengocok penis Husni di sampingku. Untung saja mas Gino tidak dapat melihat keadaan ku sekarang, yang sedang menelpon dengannya dengan gaun tidur seksi yang penuh sperma sambil mengocok penis mereka. Ku lihat kini jam sudah tepat menunjukkan pukul dua belas malam.

“Sayang.. Happy birthdaaaay..” ujar suamiku dari seberang sana. Namun disini, ucapan dari suamiku itu berbarengan dengan menyemprotnya sperma Husni ke wajahku, yang sepertinya juga merupakan ucapan selamat ulang tahun dari pria ini.

“nggg.. i-iya mas, makasih…” kataku di telepon sambil mencubit pinggang si Husni, dia hanya senyum-senyum saja.

“Moga panjang umur yah sayang, tetap cantik dan selalu ada di hati mas..”

“Iya mas.. makasih, mas kapan pulang?”

“Masih 4 hari lagi.. maaf yah, mas gak ada di sana sekarang. Pasti kamu kesepian yah? Mau Mas suruh Indah ke sana nemanin kamu?” kata mas Gino perhatian, namun disini aku malah sedang asik membersihkan penis si Husni yang baru ngecrot tadi. Indah sendiri adalah adiknya Mas Gino, umurnya masih sembilan belas tahun.

“Eh.. gak usah mas, gak apa kok.. “ kataku menolak. Bisa kacau bila si Indah datang karena banyak pria-pria mesum disini. Aku tidak bisa menjamin Indah akan baik-baik saja bila menginap di sini. Cukup biar aku saja yang menjadi korban mereka, aku tidak ingin si Indah ternoda oleh mereka.

“hmm.. ya udah kalau begitu”

Tiba-tiba ide nakalku muncul, aku rasanya ingin sekali melakukan hal liar saat menelpon suamiku. Sejenak ku tutup bagian microphone handphone itu dengan tanganku.

“Sekarang kalian setubuhi Dian.. genjotin Dian yang kencang sekeras mungkin, pokoknya suka-suka kalian” kataku berbisik pada pria-pria disini dan mengambil posisi terlentang di atas ranjangku. Mereka hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum mesum.

“Eh, iya mas? Gak ada apa-apa kok..” kataku kembali mengobrol dengan mas Gino. Pak Pono segera memposisikan penisnya di depan vaginaku.

“Nggghhhhhhhh… eh, gak ada apa-apa kok.. iya, beneran kok mas.. gak ada apa-apa” aku melenguh tertahan karena sodokan keras Pak Pono yang tiba-tiba. Pak Pono mulai mengayunkan pinggulnya menggenjot vaginaku dengan kerasnya seperti yang ku katakan tadi, membuat nafasku terengah-engah saat berbicara.

“Suara kamu kok berat gitu? Kamu lagi ngapain sih?” tanya suamiku mulai curiga. Aku merasa sangat bersalah sekaligus horny melakukan hal ini. Terlihat sangat nakal di cermin aku yang sedang di setubuhi pak Pono yang dekil sambil teleponan dengan suamiku.

“ngghhh… oughhh… gak mas… duh pak, kencang amat.. pelanin dikit..” kataku di telepon. Hal ini tentunya membuat suamiku makin heran dan curiga saja.

“Kamu lagi ngapain sih sayang? Apanya yang pelanin dikit?” tanya suamiku keheranan.

“Gak ada mas.. nggghh… terus pak.. goyangin…”

“Goyangin? Kamu lagi ngapain sih sebenarnya??” tanyanya makin curiga.

“Gak ada kok mas.. ngghh… u-udah dulu yah mas, aku ngantuk..” kataku mencari alasan dengan suara terengah-engah.

“Bentar yang, aku..”

“Tit” panggilan ku putuskan, membuat mas Gino tidak menyelesaikan pembicaraannya. Aku tidak tahu apa yang ada dipikiran suamiku saat ini. Dia pasti sangat curiga aku berbuat macam-macam di sini. Untuk jaga-jaga segera ku matikan handphone ku, karena bila dia menelpon balik aku belum punya alasan yang bagus saat ini.

“Tuh.. puas? Kalian suka kan liat Dian kaya gitu?” kataku menggoda pria-pria ini.

“Kaya gimana non maksudnya?” tanya mereka pura-pura tidak tahu.

“Ishh.. jadi istri nakal giniii, iya kan suka?” kataku lagi dengan wajah malu.

“hehe.. lo emang istri yang nakal, emang betul-betul lonte lo..” kata pak Pono.

Setelah itu mereka kembali menyetubuhi ku beramai-ramai. Mereka benar-benar melakukannya seenak mereka. Vagina, anus dan mulutku menjadi pelapiasan nafsu mereka, yang tentunya mereka lakukan bersamaan tiga lubang dalam satu waktu sekaligus. Membanjiri ketiga lubangku serta tubuhku yang masih berbalut gaun tidur seksi ini dengan sperma-sperma mereka.

Esok hari, kami bangun telat karena permainan kami yang sampai subuh semalam. Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Tapi lagi-lagi sesudah bangun tidur mereka meminta jatah lagi padaku. Aku jadi harus melayani mereka lagi hingga mereka puas dan menumpahkan spermanya ke tubuhku.

“Ting-tong” terdengar suara bel rumahku berbunyi. Saat itu aku sedang bersih-bersih rumah, para begundal itu mungkin sedang melanjutkan tidur mereka lagi di kamar mereka. Segera ku buka pintu depan untuk mengetahui siapa yang bertamu.

“Siang kak Dian..”

“Indah? Kok gak bilang dulu mau datang..”